Dominasi Rasa, Ketidakberpihakan Asa

Semu merambat dalam hening yang tenggelam ketika mendapatimu tergabung dalam golongan yang tak menentu. Yang membiarkan perlahan kau jauh dari jarak pandang dan aku berusaha keras untuk mengabaikan. Keras, sekeras tekadmu untuk pergi bersama mereka, menyusuri jalan yang aku tak tahu berujung kemana. Aku membatasi hatiku untuk tak berkata, “Mereka merubah! Kamu berubah! Dan kita terpisah antara alam yang tak ku mengerti akan menjadi seperti apa.” Tapi tak bisa, aku tak kuasa.

Peristiwa ini sekitar tiga bulan yang lalu, aku ingat betul ketika pemikiran-pemikiranmu yang tak biasa telah kau buka untuk orang-orang yang dengan segala dikte ide-ide mengunjungimu, menjamah sel-sel otakmu, merangkul sifat pejuangmu untuk ikut bersama mereka demi membangun karakter kelompok yang entah apa, menyusun semangat nilai-nilai yang tak tahu akan jadi apa, berkorban mati-matian yang entah untuk siapa. Singkatnya, mereka mempengaruhimu.

“Ra, aku akan memulai. Pemikiran mereka beda. Mereka kuat. Mereka mampu. Mereka tahu. Mereka mau. Dan yang lebih hebat lagi, mereka selalu!”, Alif menumpahkan cerita sesaat setelah bertemu dengan sekawanan pemikir yang akan memperjuangkan cita-cita mereka.

“Tapi dengan kamu mendukung mereka berarti ada pemikiran yang kamu tinggalkan. Ketika kamu ada di dalam mereka berarti kamu akan menjadi mereka. Bukan lagi kamu sendiri. Semua yang kita bicarakan tentang ketidakberpihakan akan kamu tinggalkan. Kamu secara sadar atau tidak akan memisahkan diri dari apa yang telah kamu jalankan selama ini. Kamu harus siap asing dan mungkin dimusuhi oleh pihak lainnya yang tak sama denganmu.”, Aku mempertanyakan, aku memberi pernyataan.

“Ini pilihan, Aurora. Aku memilih ini. Aku pikir kamu akan mendukungku. Setiap orang tidak akan pernah ada yang obyektif terlebih netral seratus persen. Semua orang hidup dengan konsep pribadinya, menilai dengan pemahaman individualnya, memutuskan dengan keberpihakannya. Aku bukan ingin menguasai, setidaknya aku ingin orang-orang selain aku tidak dikuasai di tangan yang salah. Aku ingin mereka bebas dari dominasi. Karena itu aku ikut mereka, berjuang bersama orang-orang yang bekerja dengan hati untuk melepaskan mereka dari penjara ideologi sempit selama ini.”, Alif berucap seperti pidato di Istana Kepresidenan.

Aku menjawab dengan tenang, “Melepaskan orang-orang lain dari penjara ideologi yang sekarang menjalar dengan menanamkan ideologi kalian yang baru? Apa bedanya kamu dengan yang lama?”

Alif diam. Wajahnya seketika temaram.

Berbulan aku membiarkanmu menikmati perjuanganmu untuk bersama dengan orang-orang yang kau anggap kuat. Kini kau seakan berkorban membiarkan dirimu berubah dimensi, yang aku tak tahu lagi bagaimana cara menyapamu.

Kini kau bagian dari hegemoni.

Begitu juga denganku, namun ternyata aku telah lama mengalami. Andai saja kau tahu.

Berbeda denganmu, aku didominasi hanya pada bagian hati. Olehmu, penguasa rasa yang menghampiri. Aku membiarkan matamu, tanganmu, senyummu, caramu berbicara dan memperhatikanku… Ya sekelompok organ-organ utama dan pembantu dalam dirimu menggerogoti otakku. Merasuki hari-hariku. Mempengaruhi perilaku milikku.

Aku tak tenang ketika kita tidak lagi menghabiskan waktu bersama, tak lagi meminum air yang sewarna, tak lagi menyanyikan lagu yang senada.

Ketika kau terkontaminasi dengan mereka.

Kau,

Aku,

Kita.

Seakan tak mungkin lagi ada. Terpisah oleh relung tak bersahaja karena konsep kita akan hidup bebas tak lagi merona.

Namun kau berhasil mempertahankan dirimu untuk selalu muncul dalam tiap detik gerakku. Selalu seperti itu. Kau menanam rohmu di dalamku. Dan ku anggap hegemoni rasa adalah hal yang wajar.

Tapi aku pun sadar kau berubah dan tak kembali lagi. Aku pun mengerti bahwa hanya aku yang  berkuasa atas hatiku sendiri, aku lelah didominasi oleh harapan semu tentang “kebersamaan kita berdua” ketika ku tahu kau lebih memilih system-system untuk berkuasa di atas puncak dunia yang kau anggap nirwana daripada ketidakberpihakan yang bagiku lebih menenangkan. Kini ku putuskan untuk perang posisi dalam keadaan ini dan aku dengan segera melakukan perang pergerakan untuk memahami keputusanmu. Walau semua ini yang membuat kita tak menyatu.

Bagiku hegemoni bisa saja terjadi bahkan bagimu yang dulu mengagumi kebebasan dan ketidakberpihakan.

Tapi bagiku, hegemoni adalah pilihan. Terlebih bila hati yang jadi sasaran. Aku tak akan membiarkan hati yang jadi korban, karena aku penguasa yang seutuhnya berhak mempertahankan. Bukan kau, bukan yang lain.

Pun mengenai nilai-nilai moral, politik, budaya yang lama kita perbincangkan, akan aku biarkan naluri yang menentukan agar tak mudah hidup ini terkontaminasi atas nama mereka yang menganggap dirinya dominan.

p.s. tidak banyak yang bisa kita lakukan setelah melihat orang yang kita kenal berubah menjadi orang yang  tidak lagi kita mengerti, selain menerima dan membiarkannya terus menjalani apapun yang dia pilih. Karena setiap orang berhak menentukan jalannya sendiri.